Episode 36: ‘Kau, Aku & Kota Kita’

Bertemu Kembali

“Kau mau teh dingin?” Andi menyikut lenganku.

“Boleh.” Aku mengangguk.

Terminal Pontianak gerah, sopir bus yang tega tetap nge-tem meski penumpang sudah hampir penuh membuat langit-langit bus tambah gerah. Apalagi melihat kelakuan kondekturnya, “Singkawang! Singkawang berangkat!” Kondektur berteriak, jamak menipu calon penumpang, bilang ‘berangkat’ atau ‘langsung’, tapi tetap saja roda bus tidak bergerak.

Andi menyerahkan teh botol dingin-berembun, ditarik dari ember berisi bongkahan es tukang asong. Aku menyeringai, bilang terima-kasih, lantas menghirup pipet putih, kerongkongan terasa segar.

“Harusnya petugas timer di terminal ini belajar dengan Om petugas di dermaga sepit. Tidak penuh, kalau waktunya habis, sepit tetap harus jalan.” Aku menyeka peluh di pelipis.

Andi mengangguk-angguk setuju.

“Kursi sebelah kau kosong, hah?” Kondektur yang sepertinya berhari-hari tidak mandi itu mendekat, di belakangnya berdiri bapak-bapak gendut, membawa koper besar, mencari bangku nganggur.

“Ada orangnya.” Andi yang menjawab.

“Mana orangnya? Kosong ini, geser, kasih tempat yang lain, dua-tiga, dua-tiga!” Kondektur melotot, dari tadi sibuk dia bilang dua-tiga, dua-tiga. Dua penumpang di kursi sebelah kiri, tiga di sebelah kanan. Anak kecil harus dipangku, tidak dipangku dianggap bayar. Alamak, mana ada aturan macam ini di sepitku, lebih satu penumpang saja Bang Togar mengirimkan surat peringatan, melanggar standar keselamatan.

Sebelum aku bersitegang dengan kondektur itu, dia tetap ngotot nyuruh bergeser, sementara aku tetap meletakkan tas ransel di kursi kosong, Pak Tua naik, berjalan di sepanjang lorong bus.

“Nah, itu ada penumpangnya.” Andi mengacungkan telunjuk.

Kondektur bersungut-sungut berlalu ke belakang.

“Ah, ternyata kalian sudah beli minuman dingin juga.” Pak Tua mengambil posisi, duduk. Mengangkat kantong plastik di tangan, tertawa kecil. Tadi Pak Tua pamit sebentar ke toilet terminal, “Ya sudahlah, buat bekal di jalan.”

Adalah setengah jam lagi menunggu ketika akhirnya bus itu benar-benar bergerak. Itu pun setelah sepuluh menit pakai acara maju-mundur dulu, biasalah, lagi-lagi trik menipu calon penumpang agar bergegas naik—kalau kalian suka naik bus, oplet atau angkutan umum pasti tahu maksudnya.

“Sebenarnya Pak Tua ada keperluan apa di Singkawang?” Andi memecah lengang, pukul sepuluh pagi, bus melesat cepat di jalan raya, semilir angin melewati jendela kaca kusam, membuat penumpang terkantuk-kantuk.

“Nah, terima-kasih akhirnya ada yang bertanya.” Pak Tua terkekeh, “Kupikir kalian terlalu asyik dengan perjalanan ini, jadi tidak ingat untuk bertanya apa pasal kita ke sana.”

Aku dan Andi saling lirik, nyengir, merasa disindir.

“Kita berplesir, Andi. Hitung-hitung agar kalian berdua lebih damai, tambah akrab lepas kejadian vespa orisinil ‘62 itu.” Pak Tua melepas topi pandan, mengusap uban, tertawa lagi.

Aku dan Andi saling lirik lagi, nyengir kaku.

Pak Tua hanya bergurau, tentu saja, kejadian heboh itu sudah hampir sebulan lalu.

Heboh? Dua malam Andi mengungsi ke rumah Pak Tua karena amuk bapaknya. Bayangkan, saat kembali dari dermaga ferry, saat bersiap mengembalikan vespa itu, yang ada justeru hamparan onderdil dan bodi motor. Belum ditambah Andi dengan tampang polos malah bertanya balik pada bapaknya, “Bukankah bapak yang nyuruh bongkar, ya?”

Aku juga ketiban pulung, dua hari penuh bapak Andi menungguiku merakit ulang vespa itu. Tidak boleh meleset satu baut pun, tidak boleh lecet se-mili pun. Di mana seni-nya jadi montir kalau ada mandor monster dengan wajah masam duduk mengawasi, berdehem-dehem galak setiap aku sedikit kasar meraih plat bodi motor. Semua memang bisa diperbaiki, pemilik vespa juga reda marahnya setelah melihat motornya kembali utuh tanpa lecet, tetapi aku menyadari, gurauanku berlebihan, maka dua malam berturut-turut berangkat dengan wajah memelas ke rumah Pak Tua, meminta pengampunan dari Andi, membujuknya pulang ke rumah.

Di antara begitu banyak tabiat Andi yang menyebalkan, benarlah kata Pak Tua, ada satu tabiat Andi yang amat mulia: mudah melupakan. Saat Pak Tua menepuk bahunya, “Kau tahu, Andi. Sama seperti saat aku menasehati Borno ketika dia marah kau menipunya soal Mei, maka akan kuulangi, kau juga tidak akan pernah bisa benar-benar marah pada Borno. Kenapa? Karena kalian teman baik satu sama lain. Pulanglah, semua kerusakan sudah diperbaiki. Bapak kau tidak marah lagi.” Marah Andi berguguran.

Di malam ketujuh sejak kami tidak bertegur sapa, Andi menemuiku saat aku sendirian bermain gitar di balai-balai bambu, tetangga sudah bubar pulang. Malam beranjak matang, gang sempit tepian Kapuas lengang, aku cempreng menyanyikan lagu-lagu lawas.

“Kau sebaiknya diam, atau nanti tetangga menimpuk kau.” Kolega dekatku itu macam hantu si ponti anak tiba-tiba sudah berdiri di depanku, nyengir.

Aku takjub, terperangah, meski sekejap kemudian menggaruk kepala yang tidak gatal, salah-tingkah. Kejadian vespa tercerai-berai itu masih segar di ingatan, juga teriakan Andi mengusirku jauh-jauh, aku menelan ludah, jangan-jangan Andi mau membalas, ragu-ragu melirik tangannya, siapa tahu dia bawa mandau atau pentungan.

“Biar aku saja yang bernyanyi.” Andi sudah loncat ke atas balai bambu, mengambil posisi. Bersidekap, bersiap macam peserta lomba menyanyi di televisi.

“Ayo, kenapa kau bengong? Petik gitarnya. Lagu yang tadi.” Andi menyuruhku.

Aku menelan ludah lagi, mataku beralih dari menilik tangan dan balik pinggang Andi—tentu saja dia tidak membawa senjata terlarang. Baik, baik, aku mencoba tersenyum, mulai memetik gitar. Lepas intro, suara serak-serak Andi terdengar elok dibawa semilir angin malam, membuat lagu sepanjang jalan kenangan itu terasa syahdu.

Kami berdiam diri beberapa menit setelah lagu usai. Situasi yang ganjil, aku berusaha mencari kalimat pembuka yang baik, sapaan perdamaian. Lirik-lirik dia, bingung harus bilang apa.

“Aku minta maaf.” Ternyata Andi yang memulai.

Aku menoleh, menatap wajahnya lamat-lamat.

“Aku minta maaf telah menipu kau soal si sendu menawan. Aku tidak merasakan perasaan itu, jadi tidak sensitif kalau itu sangat penting buat kau. Aku baru tahu kalau bukan soal mengantar turis Malaysia, atau bergegas ke steher yang membuat kau kesal dan sakit hati, tetapi karena kenyataan tidak ada Mei di dermaga kayu. Jadi tolong maafkan aku.” Andi menunduk.

Aku meneguk ludah, perlahan meletakkan gitar butut, meraih bahu Andi, “Akulah yang harus minta maaf, Kawan. Soal si sendu menawan itu hanya tentang perasaan, tapi vespa, itu membahayakan kepercayaan bengkel, pertemanan kita, segalanya. Pak Tua benar, aku harusnya berterima-kasih sudah kau tipu di dermaga, dengan demikian aku jadi tahu, hanya teman dekat yang tega melakukannya. Kau adalah teman terbaikku.”

Kami saling tatap sejenak. Andi menyeka ujung hidungnya, terharu.

“Kau tidak akan menangis, kan?” Aku nyengir, menggoda Andi.

“Enak saja, ini selesma. Ketularan kau dulu.” Andi mendengus.

Kami cengar-cengir, tertawa.

***

Pontianak—Singkawang, 145 kilometer. Menumpang bus, jarak itu dituntaskan kurang-lebih tiga jam.

Aku dan Andi terkantuk-kantuk sepanjang perjalanan. Pak Tua malah asyik tidur, menutupkan topi pandan di wajah—tanda jangan ganggu-ganggu, baru bangun saat bus mulai masuk ke kota Singkawang.

Cerita itu benar, kota ini memang pantas disebut kota seribu kelenteng (kuil, pekong, vihara atau apalah menyebutnya). Di mana-mana ada kelenteng, masing-masing dewa punya kelenteng sendiri, bahkan Jenderal perang dan Raja dinasti tersohor pun dibuatkan kelenteng. Enam puluh persen penduduk Singkawang adalah China, sisanya Melayu, Dayak, Jawa, Bugis dan suku bangsa lainnya. Bus merapat di terminal antar kota, kondektur berteriak, habis, habis, habis. Pukul satu siang, terik matahari membakar ubun-ubun. Pak Tua langsung naik salah-satu oplet, “Yakin ini opletnya, Pak? Nanti salah naik, tersesatlah kita macam di Surabaya.” Aku menggodanya, Pak Tua melotot, menyuruhku bergegas membawa tas ransel ke dalam. Andi sudah duduk rapi, asyik memperhatikan sekitar, pemandangan kota ini khas sekali.

Berbeda dengan orang-orang China di kota kalian, di Singkawang orang-orang China punya rentang jenis pekerjaan amat beragam, mulai dari nelayan, buruh, petani, sopir angkot, pengangguran, hingga pedagang seperti lazimnya orang China yang kalian kenal selama ini. Sebenarnya tidak istimewa juga, demikian komentar Pak Tua, pergilah ke Arab, Eropa atau Amerika sana, ragam pekerjaan juga sama, ada Arab, bule yang rendahan macam kau pengemudi sepit (gurau Pak Tua), ada juga yang makmur macam pedagang besar. “Kita tidak terbiasa dan kurang pandai menyikapi minoritas. Itu saja.”

Aku dan Andi mengangguk-angguk.

Oplet terhenti sejenak di perempatan kota, macet, ada arak-arakan pengantin. Aku menyeringai, menatap keramaian lewat jendela oplet, bukankah gadis, sang mempelai wanita, terlihat masih kecil? Belasan tahun sudah menikah?

“Kalian turis?” Sopir angkot menyeringai, “Nah, ini pemandangan istimewa. Biasalah, pernikahan amoy Singkawang, kadang wanitanya masih tiga belas sudah dipaksa menikah. Banyak orang Hongkong, Taiwan atau Singapore datang ke sini mencari istri. Ada yang melakukannya sembunyi-sembunyi, ada juga yang terang-terangan, menggelar prosesi pernikahan sungguhan seperti yang kalian lihat.”

Aku dan Andi saling tatap, tidak mengerti.

Maka meluncurlah penjelasan super singkat, padat, sepihak dan subyektif dari sopir angkot sebelum kami turun di penginapan. Ini disebut ‘penikahan photo’, membeli istri. Bujang-bujang dari negeri seberang (yang kadang tidak bisa disebut bujang lagi, karena sudah tiga-empat puluh-separuh baya), datang mencari istri. Bisa mencari sendiri, atau pakai agen khusus. Dengan uang berbilang lima-sepuluh juta, mereka bisa menikahi gadis amoy yang rata-rata masih belasan tahun.

“Kenapa? Kemiskinan, kebutuhan ekonomi, hidup terjepit, pola konsumtif, tidak jauh-jauh, macam itulah penyebabnya.” Sopir oplet bak pengamat ekonomi nomor satu terus berceloteh. “Keluarga Ai Lin, tetangga sebelah misalnya, anaknya sembilan, pekerjaan sekadar nelayan, solar naik, tangkapan kurang, hidup morat-marit. Datang orang Taiwan ke rumah, melamar anak gadisnya, dijanjikan makan, pakaian, diurus semuanya, mengurangi beban tanggungan. Ai Lin dan istri setuju, maka pernikahan dilangsungkan, surat-menyurat diurus, lepas menikah putrinya dibawa ke Taiwan sana. Entah apa kabarnya hingga sekarang. Empat anak gadis keluarga Ai Lin menikah dengan orang asing. Bersanding di pelaminan dengan pria-pria buncit, jelek, tua.”

“Jelek, tua?” Andi memotong.

“Tentu saja, bukan?” Sopir angkot santai mengangkat bahu, “Kalau pria-pria Taiwan, Hongkong itu tampan, gagah, dan lelaki sejati, tidak mungkin dia jauh-jauh ke sini membeli istri? Cari saja di Hongkong sana, bukankah gadis-gadisnya kinclong macam di layar tipi? Kebiasaan ‘pernikahan photo’, membeli istri macam ini sudah puluhan tahun, turun-temurun. Konon katanya ada tiga puluh ribu amoy Singkawang yang menikah dengan orang asing dan sekarang menetap di negeri seberang. Banyak sekali, bukan? Makanya di Singkawang tidak ada lagi amoy-amoy cantik, hanya tersisa yang jelek-jelek atau masih anak kecil.”

“Tiga puluh ribu? Dari mana bapak tahu sebanyak itu?” Aku bertanya, menelan ludah.

“Bagaimana aku tahu?” Sopir angkot tertawa, “Setiap turis yang naik oplet selalu tertarik kisah ini, jadi kucomot angka-nya dari koran. Data terakhir bilang, walau sudah mulai turun, setiap tahun catatan sipil setidaknya mencatat seratus pernikahan antar bangsa. Itu tidak termasuk yang sembunyi-sembunyi, tidak terdaftar. Bayangkan berapa jumlahnya. Nah, kau tahu jadi apa amoy-amoy itu di negeri seberang?”

Aku dan Andi menggeleng, memasang wajah tertarik.

“Tersia-siakan, Kawan. Tersia-siakan…. Ada yang malah masuk ke dunia hitam, jadi pelacur, wanita panggilan. Ada yang hanya jadi sansak suaminya, mengalami kekerasan sepanjang umur. Mana ada cinta dengan pernikahan jual-beli, hah? Kalau dibukukan, bisa bermeter-meter tebalnya kisah sedih tentang amoy. Bahkan kau tahu kenapa kota ini dikenal dengan sebutan itu? ‘Kota amoy’, itu bukan pujian. Itu negatif, itu sindirian.”

Pak Tua berdehem.

Kami yang asik mendengar cerita menoleh (termasuk sopir).

“Sudah kosong di depan. Jalan-lah.” Pak Tua berkata datar.

Sopir oplet buru-buru melepas rem-tangan.

“Nah, kau lihat, masih belia sekali, bukan?” Sopir oplet masih sempat menunjuk ke arak-arakan yang kami lintasi, “Dipaksa kawin dengan suami yang umurnya beda puluhan tahun. Mau jadi apa dia?”

Aku dan Andi menelan ludah.

“Tidak semua bernasib begitu.” Pak Tua berdehem lagi.

“Ah, hampir semua bernasib demikian.” Sopir oplet mendengus.

Pak Tua menghela nafas pelan, tidak menimpali.

***

Kami langsung masuk penginapan, Pak Tua enggan jalan-jalan di tengah terik matahari. Makan siang di hotel, memesan kwetiau goreng pada koki hotel, (“Astaga, rasanya aneh, kalau begini, separuh pun tidak dibandingkan chau pan A Phin,” Pak Tua mendecap-decap lidah). Aku dan Andi mana tahu soal kwetiau (atau disebut pula chau pan) milik A Phin itu, perut kami lapar, piring langsung tandas.

Setelah matahari bergerak ke barat, Pak Tua mengajak kami keliling kota, “Asyik!” Andi berseru senang, bosan sejak tadi di kamar, “Aku ingin berkenalan dengan amoy cantik, putih nan menawan hati. Siapa tahu ada yang berjodoh dengan orang Bugis.” Pak Tua tertawa, melambaikan tangan, “Kau lupa kalimat sopir oplet sok-tahu tadi? Tidak ada lagi amoy yang cantik, kecuali masih anak-anak. Habis diambil orang asing semua.”

Pertama-tama, Pak Tua mengajak kami ke Kelenteng Surga-Neraka.

Andi bersungut-sungut, “Apa serunya? Selera orang tua aneh. Dulu turis Malaysia itu juga mau-maunya ke Istana Kadariah. Apa istimewanya?” Aku menyikut lengan Andi, menyuruhnya diam. Kelenteng ini tidak buruk-buruk amat, eksotis malah, terletak dua belas kilo dari pusat kota, di atas bukit, tempat kalian bisa memandang seluruh Singkawang. Disebut Kelenteng Surga-Neraka karena di dalamnya banyak patung dewa-dewi penguasa surga dan neraka. Pak Tua takjim mendengarkan penjelasan petugas kelenteng, manggut-manggut.

Dari pekong dewa-dewi itu kami turun kembali ke kota, menuju kelenteng tua, hampir dua ratus tahun, vihara Tridarma Bumi Raya. Andi bersungut-sungut, tidak berminat. Pak Tua tertawa, mengabaikan keberatan Andi, “Apa susahnya kau berlagak jadi turis yang baik? Tanya sana, tanya sini, lihat sana, lihat sini. Lagipula siapa tahu ada amoy cantik yang kau cari di sekitar kelenteng.”

Kabar baiknya, lepas dari kelenteng tua itu, Pak Tua mengajak kami makan malam di salah-satu restoran dekat pusat kota. Menunya adalah choi pan, makanan istimewa Singkawang berbahan tepung terigu, tepung sagu, rebung dan ebi. Alamak, enaknya tidak terkira, susah dijelaskan—apalagi perut kami lapar.

“Kau mencari amoy, bukan?” Pak Tua mengedipkan mata ke Andi.

Andi yang asyik mengunyah mengangkat kepala, tertarik, mana amoy-nya?

Pak Tua memberikan kode, menunjuk salah-satu pelayan restoran.

Andi mendengus, itu bukan amoy, itu ibu-ibu. Lagipula, demikian bisik-bisik Andi sejak kami mulai jalan tadi siang, kalaupun ada gadis China di sekitar kami, tidak cocok dengan imajinasinya. “Astaga, kau juga tidak tampan memesona macam bintang film Korea, Kawan?” Aku menyikut lengan Andi, tertawa, “Kau lebih mirip bujang Taiwan atau Hongkong yang mencari istri ke sini. Sialnya, sudah buncit, jelek, kau tidak berduit macam mereka, jadi mana ada amoy yang mau.”

Andi sepertinya siap melempar piring choi pan.

Pak Tua ikut tertawa, meletakkan sumpit, melerai.

“Tidak semua yang dikatakan sopir oplet tadi benar.” Pak Tua berkata serius, saat choi pan porsi kedua kami habiskan, duduk bersandar kekenyangan. Malam semakin larut, lampu jalanan, ruko, terlihat terang. Kesibukan makan-makan di gerobak dorong, warung tenda, warung makan sederhana hingga restoran berkelas, berangsur sepi.

Aku dan Andi menatap Pak Tua.

“Tiga puluh ribu amoy, sopir oplet benar. Bahkan bisa lebih banyak lagi, mengingat kebiasaan membeli istri ini sudah berpuluh-puluh tahun. Lima-sepuluh juta, kau sudah bisa dapat istri, itu juga benar. Bahkan bisa dengan harga yang lebih murah lagi jika amoy-nya dari keluarga amat miskin, terdesak, dan tidak punya banyak pilihan. Jaman dulu, ratusan ribu juga bisa, astaga, itu bahkan lebih murah dibandingkan setelan jas mahal pejabat.”

Pak Tua diam sejenak, menghela nafas berat. Wajah Andi, seperti biasa kalau mendengar cerita, langsung mendesak, ayo teruskan.

“Bagi gadis-gadis belia itu, hidup bisa kejam sekali, sopir oplet benar. Bayangkan, kau dipaksa menikah dengan orang asing, yang bukan cuma berjarak usia, tapi juga bahasa, perangai, adab, budaya. Dan kau langsung menjadi istri-nya, melayani luar-dalam seseorang yang baru berkenalan satu hari, baru beberapa detik melihat foto. Lagipula, siapa pula lelaki yang waras, yang percaya cinta, mau memiliki istri dengan membelinya? Kalau statusnya bukan istri, lain soal, transaksi jual-beli. Tetapi ini seorang istri? Teman hidup yang kau bawa ke negeri asal, kau beri pakaian, makan, kewarganegaraan dan segalanya. Kau beli seperti membeli sandal jepit.” Pak Tua menggeleng-gelengkan kepala.

“Banyak yang akhirnya hidup menderita, sopir oplet benar…. Disia-siakan, ditelantarkan, bertahan hidup di negeri orang tanpa pendidikan, keahlian, uang dan sebagainya. Apa yang kau harapkan dari proses macam itu? Cinta sejati? Kesetiaan? Keluarga bahagia? Tidak ada itu semua.” Pak Tua menatap lamat-lamat jalanan di depan kami—yang saking takjimnya, Andi reflek ikut-ikutan menoleh, mau tahu Pak Tua lihat apa sebenarnya.

Pak Tua tertawa melihat tingkah Andi, “Tetapi diantara sekian banyak cerita buruk itu, tetap terselip kisah hebat yang penuh hikmah. Itu yang sopir oplet tidak tahu dan boleh jadi kesimpulannya menyamaratakan keliru…. Nah, tadi siang, di bus kau sempat bertanya, apa sebenarnya tujuan orang-tua ini melakukan perjalanan ke Singkawang? Baiklah, aku akan menceritakannya pada kalian, dan semoga kalian akan mengerti kenapa orang se-tua ini memaksakan diri jauh-jauh pergi. Cinta sederhana seorang amoy Singkawang.”

***bersambung

Leave a comment