Episode 34: ‘Kau, Aku & Kota Kita’

Kembali Membumi

Seperti banyak suku pedalaman di seluruh dunia, suku Dayak juga punya cerita-cerita hebat (bahkan menjurus seram). Yang paling seram adalah Ngayau, memburu kepala musuh, tradisi kaum Dayak Iban dan Dayak Kenyah. Menurut hikayat yang disampaikan tetua di Rumah Panjang, semakin banyak kepala musuh yang dipotong, maka semakin tebal aura kekuasaan seorang pemuda Dayak, pemenggalan kepala juga bisa untuk menyelamatkan kampung dari wabah penyakit, serta simbol kesuburan seluruh suku. Tetapi tradisi ini sudah lama tidak ada, walau sering terbetik kabar, mulai dari kerusuhan Sampit dulu hingga berbagai kabar burung tentang ditemukannya mayat tanpa kepala belakangan. Lagipula apa serunya membicarakan tradisi penggal kepala?

Dalam versi yang lebih ringan, yang lebih enak jadi bahan percakapan diatas balai-balai bambu sambil main kartu adalah tentang Pangkalima perang suku Dayak yang masyhur. Bayangkan sebuah sampan melaju lembut di hulu lubuk Kapuas, seorang laki-laki gagah Dayak duduk takjim di atasnya, hutan rimba lengang, menyisakan dengking binatang hutan, kabut turun mengungkung. Di tengah takjimnya suasana, seekor burung besar terbang di langit-langit lubuk, berkwaw-kwaw tiga puluh meter di atas kepala. Laki-laki gagah Dayak itu mengangkat tangan, jari telunjuknya macam pistol terarah, zapp! Terdengar desir angin pelan, dan macam ditembak pistol dengan peredam suara, burung besar itu jatuh berdebam ke permukaan Kapuas. Laki-laki gagah itu mengambil burung montok, bakal lezat dibakar nanti malam.

Peserta obrol-obrol santai di balai bambu terperangah. Takjub. Meski sejenak saling bantah tidak percaya, separuh bilang itu berlebihan, mana ada orang sakti di jaman secanggih ini, separuh yang lain dengan yakinnya bilang teman-teman-temannya dia pernah lihat dengan mata kepala sendiri di kerusuhan Pilkada mana-lah, di keributan manalah, saat Pangkalima Dayak turun dari gunung, membuat parang-parang terbang, meniti udara, peluru petugas tak tembus kulit.

“Selalu begitu, Borno.” Pak Tua yang ikut dalam obrol-obrol menghela nafas, “Orang-orang kota selalu senang mendengar cerita-cerita hebat seperti ini. Dan sebaliknya, boleh jadi orang-orang pedalaman juga punya cerita-cerita seram tentang kita. Mungkin di sana, anak-anak mudanya mendengar cerita kalau di Pontianak ini banyak wabah penyakit, berbahaya, seram, jangan coba-coba pergi ke sana. Kalau dipikir-pikir adil juga jadinya, untuk menakuti anak-anak atas orang asing.”

“Tetapi Pak Tua percaya tidak Pangkalima itu ada?” Andi menyela.

Pak Tua diam sejenak, mengusap uban, “Kalaupun ada, dia tidak akan merendahkan kehidupan supranaturalnya dengan turun-turun gunung saat rusuh Pilkada, Andi. Memangnya dia anggota parpol? Dipinjami jaket warna biru atau kuning?”

Gantian Andi yang terdiam.

Nah, lantas kenapa tiba-tiba aku jadi teringat percakapan beberapa tahun lalu itu?

Karena tiba-tiba ruang bezuk penjara ramai. Petugas berbisik-bisik, pengunjung menoleh, tahanan yang sedang menemui pembezuk ikut mengangkat kepala. Di pintu masuk, melangkah tiga-empat orang dengan tampilan gagah macam tetua suku Dayak pedalaman. Aku terbatuk, ikut menonton antusias. Kenapa aku ada di ruang bezuk penjara? Ini jadwal rutin selama sebulan terakhir Bang Togar ditahan polisi terkait kasus KDRT-nya. Aku sudah setengah jam menemani Pak Tua membezuk Bang Togar, lebih banyak bosannya karena Bang Togar sekarang pendiam sekali.

“Itu mertua Togar, Borno.” Bisik Pak Tua, menyikut lenganku.

Aku menelan ludah, ternyata ketua suku Dayak pedalaman sungguhan. Menatap gentar rombongan itu, teringat cerita-cerita seram, tato menyembul dibalik baju rapi yang mereka kenakan, aku takut-takut melirik pinggang mereka, jangan-jangan ada mandau (pisau) disana. Alamak, mereka datang pastilah terkait urusan Kak Unai, jangan-jangan akan ada pertumpahan darah di ruang bezuk penjara.

Pak Tua justeru terlihat sebaliknya, berdiri menyambut, tertawa lebar,”Apa kabar Tetua Medang?”

Orang paling depan, si wajah tegas dan keras itu sejenak menatap PakTua, mengingat-ingat, lantas ikut tertawa, memeluk Pak Tua erat-erat, “Astaga, ternyata bertemu kau di sini, Hidir. Kabar baik, Kawan.”

Adalah setengah jam pertemuan bapak Kak Unai dengan Bang Togar, disaksikan Pak Tua. Aku menyimak dalam diam di belakang mereka. Menggaruk kepala, batuk satu-dua, ternyata mereka tidak seseram cerita-cerita. Mereka datang naik perahu berhiliran, “Dua hari lebih, Hidir. Hutan rusak, sungai dangkal, kayu-kayu melintang. Kapuas macam sungai kecil saja di hulu sana. “Mereka baru bisa datang setelah hampir sebulan kasus Bang Togar terjadi, “Kampung kami masih panen besar. Itu lebih penting dibanding mengurus pertengkaran suami-istri.” Kepala suku berkata sambil menatap tajam Bang Togar.

Yang ditatap hanya tertunduk dalam-dalam, menekuri tegel ruangan.

“Aku percaya kau tidak berniat menyakiti putriku secara fisik.” Lepas basa-basi, Kepala suku berkata dingin pada Bang Togar, sekilas aku bisa melihat dia menggerakkan jemarinya, macam hendak membentuk pistol-pistolan, aku menelan ludah, “Tetapi aku percaya kau telah menyakiti putriku secara bathin. Kalau saja tidak ingat kau adalah bapak dari cucu-cucuku, anak angkat dari Kepala suku tetangga, sudah dari tadi kau kuhabisi.” Aku gemetar menahan nafas, sekejap aku melihat telunjuk Kepala suku sempat terarah ke dahi Bang Togar.

Pak Tua tidak bereaksi, diam, takjim mendengarkan.

“Unai bilang, dia masih cinta kau. Tadi memaksa ikut hendak membezuk, membawa anak-anaknya, bilang kasihan Togar sudah sebulan kedinginan di sel penjara. Bilang anak-anak ingin bertemu bapaknya. Bilang sudah cukup semua pertengkaran. Astaga, bebal sekali dia, cinta pada orang yang salah. Tetapi terserah dialah, sejak mula pernikahan ini sudah terserah dia sajalah….” Kepala suku menyeka pelipis, seperti tidak percaya dia harus mengurus masalah remeh pertengkaran anak-menantunya.

“Maafkan aku, Tetua Medang.” Bang Togar berkata pelan, dari tadi hanya itu kalimat yang dikeluarkan Bang Togar, macam tape rusak, diulang-ulang, “Sungguh maafkan aku, Tetua Medang.”

“Mudah saja kau bilang maaf, hah.” Kepala suku menepuk meja, membuat pengunjung ruang bezuk menoleh.

Aku batuk-batuk kecil, terus menyimak pembicaraan.

Kesimpulannya, proses hukum Bang Togar tidak bisa dibatalkan walau Unai minta dihentikan, itu delik pidana, bukan perdata. Boleh jadi vonis hukuman Bang Togar bisa lebih ringan dengan fakta mereka akan berbaikan, rujuk. Diujung pembicaraan, tiba pada proses rujuk, Bang Togar terisak, berjanji akan berubah, sekali lagi membuat pengunjung penjara menoleh, ingin tahu apa yangterjadi. Kepala suku membentaknya, “Cuh, mana ada pemuda Dayak menangis. Kau bukan lagi anak perantauan pulau seberang. Kau adalah anak angkat ketua suku. Dengarkan aku, Togar, kau tidak hanya bertanggung-jawab mengurus anak dan istri, kau juga bertanggung-jawab atas nasib seluruh sukumu.”

Tangis Bang Togar malah mengeras.

Aku separuh hendak tertawa, separuh sedih nian melihat wajah sembab Bang Togar. Pak Tua menepuk-nepuk bahunya, entah berbisik apa, menenangkan.

Pertemuan itu usai. Rombongan bapak Kak Unai pamit, memeluk Pak Tua sekali lagi.

“Kau cari bawang merah, parut, balurkan ke punggung.” Ketua suku itu menatapku.

Eh? Aku batuk lagi, tidak menyangka akan ditegur, bawang merah?

“Selesma kau ini bisa parah jika tidak diobati segera.”

Aku mengangguk, menyeka hidung yang basah, baru mengerti maksudnya, sebelum sempat bilang terima-kasih, rombongan itu sudah melangkah ke pintu. Macam daun diterbangkan angin, cepat sekali sudah pergi, meninggalkan Bang Togar yang masih tertunduk menyeka ujung mata.

***

Siangnya aku ke bengkel Andi.

“Woi, kupikir kau tidak datang juga hari ini.” Andi bersungut-sungut, dahinya cemong, pakaiannya kotor, duduk jongkok di depan motor besar yang tercerai-berai.

“Maaf, kemarin sepitku di-carter membawa beras ke dermaga pelampung. Seharian.” Aku ikut duduk jongkok, suaraku sedikit sengau, kedat, “Sudah ada kemajuan?”

“Tambah kusut.” Andi nyengir, jelas sekali ekspresi wajahnya bilang: bukankah kita sudah sepakat, kau yang berpikir, aku yang melaksanakan, kau yang mendiagnosis masalahnya, aku yang memperbaiki,”Sudah seharian kubongkar, ku-otak-atik, tetap tidak tahu di mana penyakitnya motor ini, tetap tidak hidup mesinnya.”

“Mana ada mesin hidup? Kalau ada sudah dari tadi dia makan pisang goreng, ngopi.” Aku ikut nyengir, meraih obeng panjang.

Andi mendengus sebal. Olok-olok bahasa yang tidak lucu. Biasalah, kebanyakan penghuni gang sempit tepian Kapuas ini suka tidak presisi berbahasa, sembarang saja. Misal, tolong hidupkan lampunya, tolong matikan tipi-nya. Mana ada lampu atau tipi bisa hidup-mati, yang benar nyala-padam.

Aku menyeka hidung yang kedat, baiklah, sinikan mesinnya, menyuruh Andi menyingkir. Sudah dua hari aku berkutat dengan motor besar kepala kampung, hadiah dari Serawak. Nasib motor ini sial benar, dibawa ngebut anak bujang kepala kampung, jatuh terperosok ke Kapuas. Perlu perahu derek untuk mengangkatnya dari dasar sungai.

“Kau dari tadi bersin terus, Kawan?” Andi yang duduk jongkok disebelahku bertanya. “Tidak kunjung sembuh selesma kau?”

Aku mengangguk, tidak apalah, aku masih bisa beraktivitas.

“Seharusnya kau istirahat. Bisa tambah parah.”

“Lah, bagaimana aku hendak istirahat, tidak datang sehari saja kau sudah marah-marah?” Aku tertawa, mataku terus asyik mengotak-atik mesin.

Andi menyeringai, bukan begitu maksudnya. Diam lagi.

Lima menit berlalu, aku bersin kencang, lendirnya mengenai mesin.

“Astaga, jangan-jangan motor kepala kampung ini nanti ikut terkena selesma, Borno.” Andi menyambar lap bersih, menyerahkannya padaku.

Aku mendorong badannya, tertawa, enak saja bicara.

“Jangan-jangan kau kena flu burung?” Lima belas menit lengang, Andi kembali nyeletuk.

Aku melotot, bisa tutup mulut sebentar tidak? Ini hampir ketemu masalah mesinnya.

“Ye lah, ye lah, aku diam lagi.” Andi mengangkat bahu.

***

Malamnya, sepulang dari bengkel Andi badanku demam. Meski aku semangat narik sepit, semangat bekerja di bengkel bapak Andi, tetap berusaha terlihat sehat, badanku tidak bisa dibohongi, punya batasnya. Pulang dari bengkel Andi saja rasanya sudah pusing, hampir jatuh di anak tangga.

Akhirnya aku jatuh sakit, parah, sudah tiga hari hanya terbaring kuyu di atas dipan. Tidak narik, tidak bekerja, motor kepala kampung terbelengkalai, semua rencana berantakan.

“Kenapa kau tidak segera ke Puskesmas?” Dokter dekat gang yang dulu sering memeriksa Pak Tua agak jengkel dipanggil malam-malam, saat aku tidak tahan lagi.

“Biasalah, orang-orang sini selalu menunda-nunda berobat, Dok.” Yang menjawab Koh Acung, yang ikut hadir menjengukku.

“Justeru itu, Acung. Saya tidak keberatan datang shubuh buta kalau memang darurat, mendadak. Tapi ini, sudah terlanjur parah baru berobat. Kalau kau malas datang ke dokter, Borno, kenapa kau tidak gunakan obat alami, gejala selesma bisa dikurangi dengan parutan bawang merah.” Dokter mengomel, melepas stetoskop, “Kita suntik saja, ya. Biar cepat sembuh.”

Aku berseru tertahan, apa dokter bilang? Bergegas hendak kabur dari dipan. Pak Tua tertawa, buru-buru memegangi. Inilah yang membuat aku enggan berobat ke dokter, disuntik. Alamak, membayangkannya saja sudah ngeri, apalagi saat merasakannya. Terasa perih ketika jarum dokter menembus pantatku, aku meronta dipegangi Koh Acung dan Pak Tua, mataku berkaca-kaca menahan sakit, mencengkeram paha Koh Acung—yang gantian berteriak kesakitan.

“Nah, sudah selesai…. Kau minum obatnya, Borno. Minum teratur dan habiskan.” Dokter meletakkan dua bungkusan plastik. Satu menit berlalu, Ibu dan Koh Acung mengantar Dokter ke beranda, bilang terima-kasih, aku meringis dibalik selimut, enak sekali jadi dokter, sudah menyakitiku, dibayar pula, lantas menerima ucapan terima-kasih tidak terhingga.

“Sejak kapan kau mulai tidak enak badan.” Koh Acung duduk di dekat dipan setelah kembali dari depan, bertanya santai.

“Sejak pulang dari Surabaya.” Pak Tua yang menjawab.

“Bukankah itu hampir dua bulan lalu?”

“Ya begitulah, sejak saat itu makan tak enak, pikiran tak tenteram, badan terasa pegal-pegal, meriang tak karuan.” Pak Tua menahan tawa.

“Akak sebenarnya sedang membicarakan apa?” Koh Acung menyeringai, bergantian menatapku (yang mendengus sebal), menatap Pak Tua (yang memasang wajah sok serius).

“Ya membicarakan Borno-lah. Siapa lagi?”

“Pikiran tak tenteram? Memangnya Borno ada masalah apa?”

“Kau tanya sendirilah padanya. Ah, perasaan yang terlalu dalam kadang bisa membuat badan sakit sungguhan. Menghela nafas terasa berat, menjalankan sepit terasa suram, sepi di tengah keramaian, dan sebaliknya ramai di tengah kesepian. Duhai, hati yang memendam rindu.”

Koh Acung tambah tidak mengerti.

Andai saja situasinya lebih sehat, dari tadi aku ingin menimpuk Pak Tua dengan bantal. Tapi apalah yang bisa kulakukan? Membantah? Semua yang dibilang Pak Tua benar. Bohong kalau dua bulan terakhir, sejak meninggalkan Tanjung Perak, ingatanku tidak tertinggal di Surabaya. Dusta kalau aku bilang telah lega dan ihklas melupakan si penyuka warna kuning itu. Sejatinya, semakin berusaha kulupakan, macam tamu tak diundang dia datang bertubi-tubi.

Ketika sendirian mengemudi sepit, pagi-pagi berangkat menuju steher, lantas duduk bengong di buritan perahu menunggu antrian merapat, ingatanku tak lepas dari antrian nomor 13, senyumnya yang riang, salamnya yang hangat, gerakan tubuhnya yang anggun. Ketika sendirian mengemudi sepit, pulang ke rumah dari bengkel bapak Andi, menatap tepian Kapuas yang bercahaya oleh bohlam lampu, semua kenangan berebut muncul dalam benak, wajahnya yang kaget bercampur senang bertemu di Istana Kadariah, wajahnya yang sumringah di ruang tunggu terapi, wajahnya yang pias karena sepit hampir terbalik. Mei, apakah kau ingat padaku? Astaga, Borno? Bukankah kau berjanji untuk melupakan? Kau berjanj iuntuk tahu diri siapa kau? Separuh hatiku sontak menyergah galak. Segera tutup pintu hati kau, jangan biarkan perasaan itu menyelinap masuk.

Tidak bisa, aku tidak bisa melakukannya. Separuh hatiku kuyu mengakui, bagaimanalah aku akan mengusirnya jauh-jauh? Perasaan itu mekar begitu saja dihati, tidak kusemai bibitnya, tidak kutanam batangnya. Dan Pak Tua benar, ketika dermaga ramai oleh celoteh penumpang dan teriakan petugas timer, aku justeru merasa sepi. Saat syukuran Pak Tua kembali narik, penghuni gang berkumpul di rumah Pak Tua, ramai menghabiskan hidangan, meski aku tertawa-tawa bergurau, sejatinya aku merasa sepi di tengah keramaian. Sebaliknya, saat malam-malam duduk sendirian diberanda rumah, menatap Kapuas yang lengang, hatiku ramai oleh pikiran-pikiran, nyengir sendiri, menggaruk kepala sendiri, mendesah gelisah. Pak Tua benar, sepi dalam keramaian, ramai dalam kesepian.

Aku sudah berusaha melawan.

Kuputuskan untuk menyibukkan diri dua bulan ini. Siapa yang hendak men-carter sepit, kubilang iya, jangankan bawa kambing, bawa anak sapi kalau muat kulayani. Di bengkel bapak Andi aku berusaha menenggelamkan diri dengan mesin-mesin, obeng, tang, oli, sibuk hingga hari berangsur gelap. Dan malam-malam, jika tidak mengunjungi Pak Tua, aku melahap buku-buku tentang mesin, saat buku milik bapak Andi habis kubaca, aku meminjam ke perpustakaan daerah. Belajar dengan konsentrasi tinggi, berharap kalau aku sibuk, maka aku akan terlalu lelah untuk sekadar mengingat Mei.

Sayang, rencanaku gagal total, bayangan Mei tetap hadir. Tidak saat aku riang membongkar mesin, tidak juga saat aku membaca buku, mencoret-coret diagram mesin, tapi dia datang tak tertahankan saat aku sendirian di sepit, terkapar kelelahan di atas dipan, kapanpun saat jeda kesibukan. Pak Tua benar, perasaan yang dalam bisa membuat badan sakit, awalnya hanya batuk kecil minggu-minggu lalu, tetap kuabaikan, disusul hidung kedat, tidak kupedulikan, ditambahi pusing, demam, maka jadilah aku terbaring sakit di dipan tiga hari terakhir.

“Kau tahu hikmah terbesar sakit, Borno?” Pak Tua berkata pelan, berhenti menggoda, menatapku prihatin—aku baru saja menggigil lagi.

Koh Acung mengangkat kepala, ingin tahu.

“Bagi bayi, sakit adalah tahapan naik kelas, sakit sebelum bisa merangkak, sakit sebelum bisa berdiri, sakit sebelum bisa berjalan.” Pak Tua menatapku lamat-lamat, tersenyum, “Dan bagi kita yang jelas tidak mengulum jempol lagi, sakit adalah proses pengampunan, Borno.”

Koh Acung mengangguk-angguk, setuju.

“Bersabarlah, dan semoga Tuhan membalas dengan kabar hebat.”

Aku antara mendengar dan tidak ucapan Pak Tua. Badanku panas tak terkira. Berusaha tersenyum, Borno akan bersabar, Pak, Borno akan bersabar.

***

Pak Tua selalu benar. Kalaupun dia salah, biasanya karena kebenaran itu datang terlambat.

Kabar hebat itu ternyata benar-benar datang.

Kalian tahu, beberapa hari kemudian, saat tubuhku berangsur-angsur pulih, pagi-pagi duduk sendirian, berselimut sarung di beranda rumah, menyeduh teh panas buatan Ibu, menatap kesibukan yang datang lagi di kota ini, aku masih libur dari narik sepit, tiba-tiba dari jauh, tergopoh-gopoh Andi memanggilku. Lari lintang pukang seperti dikejar beruang madu.

“BORNO! BORNO!” Macam lima toa jadi satu, suara Andi nyaring memanggil.

“Kau bergegas, Kawan. Bergegas!” Dia tersengal naik ke atas rumah.

Aku melipat dahi, bergegas apa?

“Aku melihatnya… aku melihatnya di dermaga kayu, Borno.” Ngos, ngos, ngos, Andi berusaha menghirup udara segar, bungkuk memegang tiang rumah.

Melihat apa? Pucat pasi begini, kau habis melihat hantu pontianak?

“Aku melihatnya, Kawan. Aku melihat si sendu menawan naik sepit. Dia telah kembali.”

***bersambung

Leave a comment