Daily Archives: August 3, 2010

Episode 18: ‘Kau, Aku & Kota Kita’

Perpisahan Pertama

“Akhirnya, Borno. Setelah sekian lama tidak kelihatan batang hidungnya, kupikir kau sudah lupa rumah papan milik orang tua sebatang kara ini.” Pak Tua tersenyum hangat, walau wajahnya terlihat pucat, berpangku tongkat membukakan pintu, “Lama sekali kau tidak main ke sini, mungkin barang satu-dua minggu, ya? Atau macam drama radio RRI, berbilang episode-episode aku tak muncul dalam cerita. Seperti penulisnya lupa dengan tokoh utamanya.”
“Maaf, Pak. Borno sibuk.” Aku menyeringai, merasa sedikit bersalah. Benar, sudah lama aku tidak mampir, biasanya seminggu bisa dua-tiga kali berkunjung. Bercakap sambil menatap kesibukan malam Kapuas dari bingkai jendela, membicarakan banyak hal. Pak Tua seperti aliran air sungai, tak habis-habis ilmu dan filosofi hidupnya—meski kadang aku juga tidak sependapat dengannya. Mengunjungi Pak Tua selalu menyenangkan.
“Bagaimana kabar Saijah? Sehat?” Pak Tua bertanya.
Aku mengangguk, “Kabar baik, Pak. Ibu bahkan menitipkan ini.” Aku menjulurkan kantong plastik berisi makanan.
Pak Tua membukanya, tersengih lebar, “Astaga, gulai kepala kakap. Amboi, lezat sekali nampaknya. Tunggu sebentar, aku habis menanak nasi, akan sedap sekali kalau langsung dimakan.” Pak Tua sambil tertawa segera membawa kantong plastik itu ke belakang. Meninggalkanku sendirian, berbengong ria di ruang depan. Tidak ada yang istimewa dari ruang tamu Pak Tua, kecuali secuil foto buram di dinding, kekuningan, dan ujungnya dimakan rayap. Foto itu memperlihatkan pose Pak Tua yang sedang berpelukan bahu dengan pencetus ‘Amerika kita setrika, Inggris kita linggis’ itu. Nampak akrab, tertawa lebar. Waktu usia enam-tujuh tahun, saat diajak almarhum Bapak berkunjung ke rumah Pak Tua, aku selalu bertanya siapa orang berpeci hitam, membawa tongkat komando itu, Pak Tua hanya tertawa melambaikan tangan, tidak menjawab. Saat sekolah, ketika akhirnya tahu siapa orang itu, lebih banyak lagi pertanyaanku, ini foto kapan? Apakah Pak Tua teman dekat? Kenapa? Mengapa? Seperti mitraliur. Sayangnya, Pak Tua lagi-lagi hanya tertawa, tidak menjawab, sampai aku bosan bertanya.

Continue reading