Tag Archives: episode 28

Episode 28: ‘Kau, Aku & Kota Kita’

Kota Buaya, Lebih Indah Kota Kita

“Kau tahu, Borno, jaman dulu, kapal ferry besar macam ini adalah kendaraan paling romantis.” Pak Tua berdiri santai digeladak depan, tangannya memperbaiki anak rambut di dahi, berpegangan ke pagar anjungan, tongkatnya disandarkan.

Aku mengangguk, Pak Tua benar, menatap garis horizon, menyaksikan matahari bersiap tumbang, ini senja yang hebat, berbeda dengan senja di tepian Kapuas. Kapal besar yang kami tumpangi sudah dua jam meninggalkan pelabuhan Pontianak. Tadi saja aku terpesona menatap prosesi lepas sauh, kapal beringsut berangkat, suaranya klaksonnya melenguh panjang, orang-orang melambai di bibir dermaga, anak-anak kecil berlarian, dan kami ikut melambaikan tangan (padahal jelas-jelas tidak ada yang melepasku dan Pak Tua pergi di dermaga sana). Aku ingat, waktu dulu bersama Andi menumpang bus ke Entikong, atau pernah ke terminal bus jarak-jauh, tidak ada momen perpisahan se-syahdu itu.

“Coba kau hitung ada berapa lagu-lagu lama yang mengambil pelabuhan, kapal besar, atau perjalanan jauh sebagai tema, Borno.” Pak Tua memutus lamunanku, “Banyak sekali. Juga buku-buku, kisah-kisah romans legendaris. Pengarang lagu dan penulis buku seperti tidak pernah kehabisan ide cerita, entah dia mengalaminya sendiri atau sekadar imajinasi.” Dan Pak Tua kemudian santai bersenandung lagu Teluk Bayur, ber-hmm, hmm beberapa saat.

Aku nyengir, melirik gayanya, ujung baju Pak Tua melambai-lambai ditiupangin, kapal terus bergerak takjim membelah lautan. Matahari sudah setengah badan ditelan garis cakrawala, membuat kaki langit merah sejauh mata memandang.

“Ah, bukan main, kekasih pergi demi tugas mulia, si belahan hati terpisah lautan samudera, rindu tak terkira, pintar sekali pengarang lagu berbual kalimat….” Pak Tua macam pujangga amatir mengangkat tangannya, aku tertawa. “Dan atau perjalanan menemui kekasih di seberang pulau sana, ingin bertemu setelah sekian lama tidak tahu kabarnya…. Alamak!” Pak Tua ekspresif menepuk dahi, memicingkan mata, tawaku tersumpal, memerah muka, Pak Tua pasti sengaja menyindirku.

“Tetapi hari ini semakin sedikit saja orang-orang yang mau naik kapal.Semua ingin serba cepat, serba praktis, efisien. Mana ada yang mau naik kapal lagi kalau pesawat murah? Padahal mana ada romantisnya naik pesawat? Kau terkurung dalam tabung setinggi kepala, selebar lompatan, hanya bisa mengintip dari jendela tebal, kakusnya pun sempit tidak terkira. Nah, lihat, naik kapal, kau bisa melakukan ini. Cuih.” Pak Tua jahil meludah.

Aku tertawa—bukan untuk meludahnya, tapi senang karena dia tidak melanjutkan sindiran ‘perjalanan menemui kekasih’ tadi.

“Pak Tua pernah naik pesawat?” Aku memancing.

“Puh, kau jangan meremehkan orang tua ini, Borno. Aku bahkan pernah menumpang pesawat tempur, pekak telingaku, gemetaran kakiku saat turun dilandasan, jujur saja, itu bukan pengalaman yang membanggakan, membuat muntah iya.”

Aku menatap Pak Tua antusias, hendak bertanya.

“Negara ini mendaku-daku negara kepulauan, bukan? Memiliki garis pantai terpanjang di seluruh dunia, bukan? Separuh lebih luasnya adalah laut. Nenek moyangnya orang pelaut. Tetapi coba di-sensus, setidaknya pasti ada setengah penduduknya yang jangankan naik kapal, melihat laut saja tidak pernah. Apalah arti mendaku kalau tidak punya rasa memiliki? Gombal sekali.” Pak Tua lebih tertarik membahas hal lain—yang sebaliknya, aku tidak tertarik sama sekali. Beruntung sebelum panjang-lebar mendengar celoteh Pak Tua, suara sirene makan malam terdengar.

“Mari makan, Borno. Semoga mereka punya gulai kepala kambing.” Pak Tua terkekeh melihat tampang keberatanku, mengingatkan soal diet ketat Pak Tua.

Continue reading